Kelas : 1IB05
NPM : 1C414893
1.
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kemiskinan
1.1.
Ilmu Pengetahuan
“ Ilmu
pengetahuan” lazim digunakan dalam pengertian sehari-hari, terdiri dari dua
kata, “ ilmu “ dan “ pengetahuan “, yang masing-masing punya identities
sendiri-sendiri. Dikalangan ilmuwan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu
selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal
tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris,
umum dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah
sederhana karena bermacam-macam pandangan dan teori (epistemologi), diantaranya
pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat
diinderai dan dapat merangsang budi. Dan oleh Bacon & David Home
pengetahuan diartikan sebagai pengalaman indera dan batin.
Ilmu pengetahuan
pada dasarnya memiliki tiga komponen penyangga tubuh pengetahuan yang
disusunnya yaitu ; ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Epistemologis
hanyalah merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun
menjadi tubuh ilmu pengetahuan. Ontologis dapat diartikan hakekat apa yang
dikaji oleh pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup ujud yang menajdi objek
penelaahannya. Atau dengan kata lain ontologism merupakan objek formal dari suatu
pengetahuan. Komponen aksiologis adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan atau
fungsi dari ilmu pengetahuan.
Pembentukan ilmu
akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi
objek material sebagai bahan yang menadi tujuan penelitian bulat dan utuh,
serta objek formal, yaitu sudut pandangan yang mengarah kepada persoalan yang
menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu
meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu
kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk
sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berpikir
analitis, sistesis, induktif dan deduktif. Yang terakhir ialah pengujian
kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal
yang merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai
suatu pengetahuan yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat
ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu, melainkan mendukung dalam mencapai tujuan
ilmu itu sendiri, sehingga benar-benar objektif, terlepas dari prasangka
pribadi yang bersifat subjektif. Sikap bersifat ilmiah itu meliputi empat hal :
1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih
sehingga menacapi pengetahuan ilmiah
yang
obeyktif
2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya
2. Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya
didukung
oleh fakta
atau
gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada
3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun
3. Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun
terhadap
indera dam budi
yang
digunakan untuk mencapai ilmu
4. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori maupun aksioma terdahulu telah
4. Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori maupun aksioma terdahulu telah
mencapai kepastian, namun masih
terbuka untuk dibuktikan kembali.
1.2.
Teknologi
Teknologi
adalah pemanfaatan ilmu untuk memecahkan suatu masalah dengan cara mengerahkan
semua alat yang sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan skala nilai yang ada.
Teknologi bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis serta untuk
mengatasi semua kesulitan yang mungkin dihadapi. Selain menimbulkan dampak
positif bagi kehidupan manusia, terutama mempermudah pelaksanaan kegiatan dalam
hidup, teknologi juga memiliki berbagai dampak negatif jika tidak dimanfaatkan
secara baik. Contoh masalah akibat perkembangan teknologi adalah kesempatan
kerja yang semakin kurang sementara angkatan kerja makin bertambah, masalah
penyediaan bahan-bahan dasar sebagai sumber energi yang berlebihan
dikhawatirkan akan merugikan generasi yang akan datang.
Dalam konsep yang
pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan bahwa
pengetahuan (body ofknowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of arts
) yang mengandung pengetian berhubungan dengan proses produksi; menyangkut cara
bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan ketrampilan
dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. “secara konvensional mencakup
penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi
sosial, terutama teknoogi sosial pembangunan (the social technology of
development) sehingga teknologi itu adalah merode sistematis untuk mencapai
tujuan insani (Eugene Stanley, 1970).
Teknologi
memperlihatkan fenomenanya alam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki
otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis.
Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul “the technological society” (1964)
tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipun artinya sama. Menurut Ellul
istilah teknik digunakan tidak hanya untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk
memperoleh hasilnya, melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional
dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap
bidang aktivitas manusia. Jadi teknologi penurut Ellul adalah berbagai usaha,
metode dan cara untuk memperoleh hasil yang distandarisasi dan diperhingkan
sebelumnya.
Dari
perspektif sejarah, seperti digambarkan oleh Toynbee (2004, 35) teknologi
merupakan salah satu ciri khusus kemuliaan manusia bahwa dirinya tidak hidup
dengan makanan semata. Teknologi merupakan cahaya yang menerangi sebagian sisi
non material kehidupan manusia. Teknologi, lanjut Toynbee (2004, 34) merupakan
syarat yang memungkinkan konstituen-konstituen non material kehidupan manusia,
yaitu perasaan dan pikiran , institusi, ide dan idealnya. Teknologi adalah
sebuah manifestasi langsung dari bukti kecerdasan manusia.
Fenomena
Teknik
Fenomena teknik pada
masyarakat masa kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagia
berikut :
1. Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang
1. Rasionalistas, artinya tindakan spontan oleh teknik diubah menjadi tindakan yang
direncanakan dengan perhitungan rasional
2. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
3. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan
2. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah
3. Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan
secara otomatis. Demikian juga dengan
teknik mampu mengeliminasikan kegiatan
non teknis menjadi kegiatan
teknis
4. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
5. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
6. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi,
4. Teknik berkembang pada suatu kebudayaan
5. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung
6. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi,
bahkan dapat menguasai kebudayaan
7. otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
7. otonomi artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang
degnan pesat meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Luasnya bidang teknik
digambarkan sebagaia berikut :
1. Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-
1. Teknik meluputi bidang ekonomi, artinya teknik mampu menghasilkan barang-
barang industri. Dengan teknik, mampu
mengkonsentrasikan capital sehingga
terjadi sentralisasi ekonomi
2. Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan,
2. Teknik meliputi bidang organisasional seperti administrasi, pemerintahan,
manajemen, hukum dan militer
3. Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector
3. Teknik meliputi bidang manusiawi. Teknik telah menguasai seluruh sector
kehidupan manusia, manusia semakin
harus beradaptasi dengan dunia teknik dan
tidak ada lagi unsur pribadi manusia
yang bebas dari pengaruh teknik.
1.3.
Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Nilai
Ilmu
pengetahuan dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar
perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan, yang pada hakikatnya adalah penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini menyangkut perdebatan sengit dalam menduduk perkarakan nilai dalam kaitannya dengan ilmu dan teknologi
Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini menyangkut perdebatan sengit dalam menduduk perkarakan nilai dalam kaitannya dengan ilmu dan teknologi
Masalah
nilai kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini menyangkut perdebatan
sengit dalam menduduk perkarakan nilai dalam kaitannya dengan ilmu dan
teknologi. Sehingga kecenderungan sekarang ada dua pemikiran yaitu, yang
menyatakan ilmu bebas dan nilai yang menyatakan ilmu tidak bebas nilai.
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya memiliki tiga komponen penyangga tubuh pengetahuan
yang disusunnya yaitu : Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. Komponen
Ontologis kegiatannya adalah menafsirkan hikayat realitas yang ada sebagaimana
adanya (das sein) melalui desuksi-desuksi yang dapat diuji secara fisik.
Artinya Ilmu harus bebas dari nilai-nilai yang sifatnya dogmatik. Komponen
Epistemologis berkaitan dengan nilai atau moral pada saat proses
logis-hipotesis-verifikasi. Asas moral yang terkait secara eksplisit yaitu
kegiatan ilmiah harus ditujukan kepada pencarian kebenaran dengan jujur tanpa
mendahulukan kepentingan kekuatan argumentasi pribadi. Komponen Aksiologis
artinya lebih lengket dengan nilai atau moral. Dimana ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan demi kemaslahatan manusia. Ilmu adalah bukan tujuan tetapi sebagai
alat atau sarana dalam rangka meningkatkan taraf hidup manusia dengan
memperhatikan dan mengutamakan kodrat dan martabat manusia serta menjaga
kelestarian lingkungan alam.
1.4.
Kemiskinan
Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai
kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan
berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat
berteduh, dan lain-lain. Garis kemiskinan yang menentukan batas minimum
pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi
oleh tiga hal :
1.
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan
2. Posisi manusia dalam lingkungan sekitar
3. Kebutuhan objectif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi
2. Posisi manusia dalam lingkungan sekitar
3. Kebutuhan objectif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi
Persepsi
manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, adat istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalamhal ini garis kemiskinan
dapat tinggi atau rendah. Terhadap posisi manusia dalam lingkungan sosial,
bukan ukuran kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi
pendapatannya ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia
untuk bisa hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah
benilai gizi cukup dengan nilai protein dan kalori cukup sesuai dengan tingkat
umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan lingkungan yang
dialaminya.
Kesemuanya
dapat tersimpul dalam barang dan jasa dan tertuangkan dalam nilai uang sebgai
patokan bagi penetapan pendapatan minimal yang diperlukan, sehingga garis
kemiskinan ditentukan oleh tingkat pendapatan minilam ( versi bank dunia,
dikota 75 $ dan desa 50 $AS perjiwa setahun, 1973). Berdasarkan ukuran ini maka
mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan memiliki cirri-ciri sebagai berikut
:
1.
Tidak memiliki factor-faktor produksi sendiri seperti tanah, modal,
keterampilan. Dll
2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan
2. Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan
sendiri, seperti untuk memperoleh tanah
garapan ataua modal usaha
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai taman SD
4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas
5. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.
3. Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai taman SD
4. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas
5. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.
Jika kita menganut teori
fungsionalis dan statistika (Davis), maka kemiskinan memiliki sejumlah fungsi :
1. Fungsi ekonomi : penyediaan dana untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan
1. Fungsi ekonomi : penyediaan dana untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan
dana sosial, membuka lapangan kerja baru
dan memanfaatkan barang bekas.
2. Fungsi sosial : menimbulakan altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan,
2. Fungsi sosial : menimbulakan altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan,
sumber imajinasi kesulitan hidup bagi si
kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi
kelas lain dan merangsang munculnya badan
amal.
3. Fungsi kultural : sumber inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber
3. Fungsi kultural : sumber inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber
inspirasi sastrawan dan memperkaya budaya
saling mengayomi antara sesama
manusia.
4. Fungsi politik : sebagai kelompok gelisah atau masyarakat marginal untuk
4. Fungsi politik : sebagai kelompok gelisah atau masyarakat marginal untuk
saling bersaing bagi kelompok lain.
2.
Agama dan Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat banyak
dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur
nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang ati dan
hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi dan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agama para tasauf.
Bukti-bukti itu sampai pada pendapat
bahwaagama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan
ultimate. Agama yang diyakini, merupakan sumber motivasi tindakan individu
dalam hubungan sosialnya, dan kembali pada konsep hubungan agama dengan
masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial
dan invidu dengan masyarakat yang seharusnya tidak bersifat antagonis.
Peraturan agama dalam masyarakat penuh
dengan hidup, menekankan pada hal-hal yang normative atau menunjuk kepada
hal-hal yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan.
Contoh kasus akibat tidak
terlembaganya agama adalah “anomi”, yaitu keadaan disorganisasi sosial di mana
bentuk sosial dan kultur yang mapan jadi ambruk. Hal ini,
pertama, disebabkan oleh hilangnya solidaritas apabila kelompok lama di
mana individu merasa aman dan responsive dengan kelompoknya menjadi hilang.
Kedua, karena hilangnya consensus atau tumbangnya persetujuan terhadap
nilai-nilai dan norma yang bersumber dari agama yang telah memberikan arah dan
makna bagi kehidupan kelompok.
2.1.
Fungsi Agama
Ada tiga aspek penting yang selalu
dipelajari dalam mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat, yaitu kebudayaan,
sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek itu merupakan kompleks fenomena
sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga
timbul pertanyaan sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah
lembaga agama terhadap kebudayaan adalah suatu sistem, atau sejauh mana agama
dapat mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan
tersebut timbul karena sejak dulu hingga sekarang, agama masih ada dan
mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi.
Manusia yang berbudaya, menganut
berbagai nilai, gagasan, dan orientasi yang terpola mempengaruhi perilaku,
bertindak dalam konteks terlembaga dalam lembaga situasi di mana peranan
dipaksa oleh sanksi positif dan negatif serta penolakan penampilan, tapi yang
bertindak, berpikir dan merasa adalah individu itu sendiri.
Teori fungsionalisme melihat agama
sebagai penyebab sosial agama terbentuknya lapisan sosial, perasaan agama,
sampai konflik sosial. Agama dipandang sebagai lembaga sosial yang menjawab
kebutuhan dasar yang dapat dipenuhi oleh nilai-nilai duniawi, tapi tidak
menguntik hakikat apa yang ada di luar atau referensi transdental.
Aksioma teori di atas adalah, segala
sesuatu yang tidak berfungsi akan hilang dengan sendirinya. Teori tersebut juga
memandang kebutuhan “sesuatu yang mentransendensikan pengalaman” sebagai dasar
dari karakteristik eksistensi manusia. Hali itu meliputi, Pertama, manusia
hidup dalam kondisi ketidakpastian juga hal penting bagi keamanan dan
kesejahteraannnya berada di luar jangkauan manusia itu sendiri. Kedua,
kesanggupan manusia untuk mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya
adalah terbatas, dan pada titik tertentu akan timbul konflik antara kondisi
lingkungan dan keinginan yang ditandai oleh ketidakberdayaan. Ketiga, manusia
harus hidup bermasyarakat di mana ada alokasi yang teratur dari berbagai
fungsi, fasilitas, dan ganjaran.
Jadi, seorang fungsionalis memandang
agama sebagai petunjuk bagi manusia untuk mengatasi diri dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan, dan kelangkaan; dan agama dipandang sebagai mekanisme
penyesuaian yang paling dasar terhadap unsur-unsur tersebut.
Fungsi agama terhadap
pemeliharaan masyarakat ialah
memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Contohnya adalaha sistem kredit dalam
masalah ekonomi, di mana sirkulasi sumber kebudayaan suatu sistem ekonomi
bergantung pada kepercayaan yang terjalin antar manusia, bahwa mereka akan
memenuhi kewajiban bersama dengan jenji sosial mereka untuk membayar. Dalam hal
ini, agama membantu mendorong terciptanya persetujuan dan kewajiban sosial dan
memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, atau mempengaruhi adat-istiadat.
Fungsi agama dalam
pengukuhan nilai-nilai bersumber pada kerangka acuan yang
bersifat sakral, maka norma pun dikukuhkan dengan sanksi sakral. Sanski sakral
itu mempunyai kekuatan memaksa istimewa karena ganjaran dan hukumannya bersifat
duniawi, supramanusiawi, dan ukhrowi.
Fungsi agama di sosial adalah fungsi penentu, di mana
agama menciptakan suatu ikatan bersama baik antara anggota-anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang mempersatukan mereka.
Fungsi agama sebagai
sosialisasi individu adalah,
saat individu tumbuh dewasa, maka dia akan membutuhkan suatu sistem nilai
sebagai tuntunan umum untuk mengarahkan aktifitasnya dalam masyarakat. Agama
juga berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Orang tua
tidak akan mengabaikan upaya “moralisasi” anak-anaknya, seperti pendidikan
agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai
tujuan utamanya. Karena itu, untuk mencapai tujuan tersebut harus beribadah
secara teratur dan kontinu.
2.2. Pelembagaan
Agama
Agama sangat universal, permanen, dan
mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, maka akan sulit
memahami masyarakat. Hal yang harus diketahui dalam memahami lembaga agama
adalah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan
struktur dari agama.
Dimensi ini mengidentifikasikan
pengaruh-pengaruh kepercayaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi-dimensi ini dapat diterima sebagai dalil
atau dasar analitis, tapi hubungan antara empat dimensi itu tidak dapat
diungkapkan tanpa data empiris.
Menurut Elizabeth K. Nottingham
(1954), kaitan agama dalam masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun
tidak menggambarkan keseluruhannya secara utuh.
a.
Masyarakat yang Terbelakang dan Nilai-nilai Sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi,
dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Sebab itu,
keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama.
Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang
sakral ke dalam sistem masyarakat secara
mutlak.
2. Nilai agama sering meningkatkan
konservatisme dan menghalangi perubahan dalam
masyarakat dan agama menjadi fokus utama pengintegrasian dan persatuan
masyarakat
secra keseluruhan yang berasal dari keluarga yang belum berkembang.
b.
Mayarakat-masyarakat Praindustri yang Sedang Berkembang
Masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi. Agama memberi arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam
tiap masyarakat, pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekular
masih dapat dibedakan. Fase kehidupan sosial diisi dengan upacara-upacara
tertentu. Di pihak lain, agama tidak memberikan dukungan sempurna terhadap
aktivitas sehari-hari, agama hanya memberikan dukungan terhadap adat-istiadat.
Pendekatan rasional terhadap agama
dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku
yang sifatnya ekonomis dan teknologis dan tentu akan kurang baik. Karena adlam
tingkah laku, tentu unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan
agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan di luar jangkauan manusia
(transdental), seperangkat symbol dan keyakinan yang kuat, dan hal ini adalah
keliru. Karena justru sebenarnya, tingkah laku agama yang sifatnya tidak
rasional memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Agama melalui wahyu atau kitab sucinya
memberikan petunjuk kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu
selamat di dunia dan akhirat. Dalam perjuangannya, tentu tidak boleh lalai.
Untuk kepentingan tersebut, perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehiduapan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Adanya organisasi keagamaan, akan
meningkatkan pembagian kerja dan spesifikasi fungsi,juga memberikan
kesempatan untuk memuaskankebutuhan ekspresif dan adatif.
Pengalaman tokoh agama yang merupakan
pengalaman kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang
akan menjadi organisasi keagamaan terlembaga. Pengunduran diri atau kematian
figure kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu
adalah mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman
agama, apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya. Hal
yang penting untuk dipelajari adalah memahami “wahyu” atau kitab suci, sebab
lembaga keagamaan itu sendiri merupakan refleksi dari pengalaman ajaran
wahyunya.
Lembaga keagamaan pada puncaknya
berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan, dan tampil pula
sebagai asosiasi atau organisasi. Misalnya pada kewajiban ibadah haji dan
munculnya organisasi keagamaan.
Lembaga ibadah haji dimulai dari
terlibatnya berbagai peristiwa. Ada nama-nama penting seperti Adam a.s, Ibrahim
a.s, Siti Hajar, dan juga syetan; tempatnya adalah Masjidil-Haram, Mas’a,
Arafah, Masy’ar, Mina, serta Ka’bah yang merupakan symbol penting; ada
peristiwa kurban, pakaian ihram, tawaf, sa’I, dan sebagainya.
Adam dan Hawa dalam keadaan terpisah,
kemudian keduanya berdoa : “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri sendiri,
dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscayalah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S al-A’raf : 23).
Setelah itu Allah SWT memerintahkan
Adam untuk ibadah haji (pergi ke sesuatu untuk mengunjunginya). Saat sampai di
suatu tempat (Arafah= tahu, kenal), maka bertemulah ia dengan Hawa setelah
diusir dari surge. Sebab itu dalam pelaksanaan ibadah haji, ada ketentuan wukuf
(singgah).
Nama nabi Ibrahim a.s selalu dikaitkan
dengan Ka’bah sebagai pusat rohani agama Islam (Kiblatnya Islam). Pada suatu
peristiwa Allah memerintahkan Jibril membawa Ibrahim a.s, Siti Hajar dan Ismail
a.s putranya yang masih kecil ke Makkah dari Palestina. Di suatu tempat,
Ibrahim a.s atas perintah Allah SWT supaya meninggalkan istri dan putranya.
Kemudian Ismail menangis meminta air, tentu saja Siti Hajar menjadi khawatir
dan gelisah, maka ia pun berlari mencari air ke bukit Shafa dan Marwa sebanyak
tujuh kali.
Setelah itu dengan kuasa Tuhan, memancarlah
air dari dekat kaki Ismail (sekarang sumur air Zam-zam). Sebab itu, dalam rukun
Haji ada Sa’I (berlari kecil) sebanyak tujuh kali di bukit Shafa dan Marwa.
Siti Hajar merupak lambang yang bertanggung jawab, tidak pasrah, perjuangan
fisik dan meniadakan diri tenggelam ke dalam samudera cinta.
Kurban dikaitkan resmi dengan ibadah
haji. Lembaga ini berhubungan dengan sejarah rohani Ibrahim a.s yang
diperintahkan oleh Alla SWT untuk menyembelih putranya Ismail a.s, untuk
menguji kesempurnaan tauhidnya. Sewaktu penyembelihan akan dilaksanakan, syetan
sempat menggoda Ibrahim a.s agar tidak melaksanakan perintah Allah tersebut.
Kemudian Ibrahim dan Ismail melemparkan batu ke arah suara syetan itu berasal.
Untuk mengenang peristiwa itu, dalam pelaksanaan ibadah haji diwajibkan
melempar jumrah (batu).
Sewaktu Ismail akan disembelih oleh
Ibrahim a.s, ternyta Allah menggantinya dengan seekor gibas (domba) jantan.
Firman Allah : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu
bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan pergi kesana. Barang siapa yang
kafir (terhadap kewajiban haji), maka bahwasanya Allah Mahakuasa (tidak
memerlukan sesuatu dari alam semesta)” (Q.S 3:97).
Jadi, kewajiban tersebut, esensinya
adalah evolusi manusia menuju Allah dengan pengalaman agama yang penting.
Mengandung simbolis dari filsafat “pencptaan Adam”, “sejarah”, “keesaan”,
“ideology islam”, dan “ummah”.
Organisasi keagamaan yang tumbuh
secara khusus, bermula dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri
organisasi keagamaan yang terlembaga.
Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial
Islam yang dipelopori oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan yang menyebarkan pemikiran
Muhammad Abduh dari Tafsir Al-Manar. Ayat suci Al-Quran telah memberi inspirasi
kepada Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Salah satu mottonya adalah,
Muhammadiyah diapandang sebagai “segolongan dari kaum” mengajak pada kebaikan
dan mencegah perbuatan jahat (amar ma’ruf, nahi ’anil munkar)
Dari contoh sosial di atas, lembaga
keagamaan berkembang sebagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan (keyakinan),
dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya
terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan (ibadat), dan tingkat
organisasi.
Tampilnya organisasi agama adalah
akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi
perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi,
pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan
agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.
2.3. Agama,
Konflik, dan Masyarakat
Secara
sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah
berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan
sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan
sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya
pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling
sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap
kebenaran teologi atau bahkan etika
dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M.
Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi
berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian
yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia
menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi
mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang
mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas,
karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya
religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian
karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama
tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang
bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan
juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek
yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus
perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah
ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi
oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak
mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.